SATU
Suara gamelan sayup-sayup terdengar di pagi itu.
Perlahan masuk ke kamar Shinta yang masih tergolek lemas dengan memeluk guling
dan selimut yang menutupi seluruh tubuhnya. Sesaat dia mengerang. Mulai
terganggu dengan suara yang selama hampir delapan belas tahun didengarnya
setiap pagi. Tapi entah kenapa pagi ini dia merasa sudah benar-benar ‘tobat’
mendengarnya.
“ Akkkhhh !!! “ jeritnya tertahan
sambil membuka kasar selimutnya sendiri.
Dia menarik nafas berat dengan mata
menatap sekeliling dan berhenti pada jam dinding dihadapannya.
Jam setengah enam pagi !
Shinta mengeluh jauh didalam hati.
Ayahnya memang punya kebiasaan yang ‘unik’. Setiap pagi sebelum memulai
aktifitas seperti biasa pasti beliau selalu menyempatkan diri untuk memainkan
alat musik tradisional jawa, gamelan. Tapi kali ini buat Shinta, masih terlalu
pagi untuk mendengarkan musik yang menurutnya nggak ada perkembangannya sama
sekali itu.
Dengan rambut yang berantakan dan
masih menggunakan piyama, Shinta beranjak dari tempat tidurnya lalu keluar. Dihampirinya
sang ayah yang terlihat sangat menikmati permainan musik khas jawa tengah itu.
“ Ayah lagi ngelindur ya ? “ tanyanya tanpa basa
basi.
Sesaat ayahnya menghentikan
permainannya. Melihat putri semata wayangnya datang dengan keadaan masih
‘kusut’, dia menggelengkan kepala.
“ Anak gadis jam segini baru bangun.
adoh tenan iki rejeki karo jodohmu,
ndok … ndok. ( jauh beneran rejeki
sama jodohmu, nak ) “ ucap ayah pelan.
“ Ayah ngelindur ya ? “ Shinta
mengulangi pertanyaannya.
“ Nopo tho ? ( kenapa sih ) “
“ Jam segini udah ting nang ning
dung maenin gamelan ! Biasanya juga jam tujuhan. Aku keganggu tau ?! “ ketus
Shinta.
Ayah tertawa pelan.
“ Ono opo iki esuk-esuk wis rame ? ( ada apa ini pagi-pagi udah rame
) “ celetuk ibu yang tiba-tiba muncul.
“ Ayah tuh, bu. Pagi-pagi udah
ganggu orang tidur. “ jawab Shinta.
Sambil tetap tersenyum, ayah
menyahut “ anakmu, bu. Sudah besar tapi masih seperti anak kecil. Masa jam
segini baru bangun ? Sebentar lagi kan tamu agung mau datang, tapi liat dia.
Matanya saja belum benar-benar terbuka. “
“ Lha bagaimana kamu ini, Shin ?
Lupa apa sengaja bangun siang ? Masa belum
siap-siap ? “
“ Apaan sih bu ? Emang ada apa ? “
tanya Shinta bingung.
“ Lha kan hari ini kita kedatangan
tamu agung dari Solo dan sebentar lagi mereka sampai. “
“ Siapa pagi-pagi bertamu ? Enak
amat ? Sekalian dapet sarapan gratis ya ? “
“ Hush !!! “ potong ayah seketika, “
lancang kamu, nak ! Ayah ndak suka kamu seperti ini ! Ndak sopan gitu bicaranya
! Sudah, lebih baik kamu rapih-rapih. Lalu ikut sarapan bareng keluarga dan
tamu ini. Ingat ! Jaga sikapmu. sing
sopan karo tamu. ( yang sopan sama tamu ) “
“ Sudah, sudah. “ sela ibu, “ Shin,
kamu mandi sana. Pakai kebaya keluarga. Yang rapih ya ? Dan harus terlihat
cantik. “
“ Njeh kanjeng ibu. ( baik, bu ) “ sahut Shinta. Lalu kembali masuk
kedalam kamarnya.
Ayah dan Ibu memperhatikan kepergian
Shinta dengan sebuah pemikiran yang sama.
Shinta sudah mulai dewasa dan mulai
tidak menyukai segala hal tentang adab keluarga keturunan darah biru. Walaupun
sudah belasan tahun hidup dilingkungan serba diatur, tapi pagi ini membuktikan
kalau Shinta mulai menginginkan ‘kebebasan’ sebelum masa remajanya berlalu dua
tahun lagi.
Dan kedua orang tua itu semakin
takut dengan segala resiko yang akan terjadi bila hal itu benar-benar terjadi.
ώώώ
Shinta sengaja baru keluar kamar
ketika mbok Ratih, abdi dalem sekaligus pembantu pribadinya, memanggilnya untuk
keluar atas perintah sang ibu. Dengan langkah setengah terpaksa, Shinta
berjalan menuju ruang tamu.
Disana ternyata tamu agung yang
dibilang ayahnya tadi sudah datang. Berjumlah empat orang. Tepatnya sebuah
keluarga. Begitu pemikiran Shinta.
“ Nah, ini putri semata wayang kami
yang beberapa hari lalu kita bicarakan. Namanya Raden Ajeng Adinda Putri
Rashinta Suryodiningrat. Biasa dipanggil Shinta, “ ucap Ibu ketika Shinta
datang dan langsung menarik lengan Shinta dengan lembut untuk semakin mendekat
ke sebuah ‘rapat’ keluarga itu. Lalu Ibu beralih menatap Shinta, “ salam dulu
nanti baru ibu kenalkan siapa mereka. “
Shinta hanya mengangguk kemudian
sambil tersenyum dia menyalami kedua orang tua dihadapannya dan hanya berjabat
tangan dengan kedua laki-laki yang duduk
tepat disebelah orang tua itu.
“ Shinta, mereka adalah keluarga
Prasetyoningrat dari Solo. Itu Ibu Raden Ayu Ratna Prasetyoningrat. Lalu
disebelahnya Bapak Raden Mas Djoko Prasetyoningrat. Nah kedua laki-laki itu
putra mereka. Yang pakai batik coklat namanya Raden Mas Gusti Rahadi Prasetyoningrat
dan yang batik biru itu kakaknya Gusti. Namanya Raden Mas Bagus Rahadi
Prasetyoningrat. “ jelas ibu panjang lebar.
Shinta hanya mengangguk sebagai
tanda mengerti dan dengan seulas senyum yang dia lemparkan pada keluarga
ningrat dari Solo itu.
“ Hmm … Shinta sekarang kelas berapa
ya ? “ tanya Bu Ratna lembut.
“ Alhamdulillah baru lulus SMA, bu.
“ jawab Shinta dengan nada sopan.
Ayah dan ibunya tanpa sadar menarik
napas lega.
“ Oh, kalau begitu sama dengan
Gusti. Rencananya kamu lanjut kuliah atau bagaimana ? “ tanya Bu Ratna lagi.
“ Maunya sih kuliah, bu. Tapi ndak
tau ya ibu sama bapak ngijinin apa ndak. “ sahut Shinta.
Keluarga Prasetyoningrat itu tertawa
pelan mendengar jawaban Shinta barusan.
“ Putriku ini memang keinginan untuk
majunya besar sekali. Malah pernah bilang ingin kuliah sampai dapat tiga gelar
master. Gimana aku ndak puyeng mas ? “ ucap ayah.
Lagi-lagi semua yang ada diruangan
itu tertawa.
“ Lha malah bagus itu, dik. Tapi ya
kalau sekolah terus nanti kapan nikahnya ? “ kata Bapak Djoko.
“ Waduh, saya belum kepikiran kesana
tuh, Pak. Masih terlalu jauh. “
“ Oh ya ? Kalau hanya sekedar
tunangan sebagai pengikat, kamu pasti mau kan ? “ lanjut laki-laki yang dengan cara
dan nada bicaranya itu terlihat sekali kalau beliau seorang pemimpin.
Kening Shinta berkerut, “ tunangan ?
Sebentar … sebenernya maksudnya apa ya ? “
Ayah Shinta berdeham sejenak, “
Shinta, sekarang sudah seharusnya kamu tau tentang hal ini. Sejak kecil kamu
sudah dijodohkan dengan Raden Mas Gusti, putra bungsu keluarga Prasetyoningrat.
Dan maksud kedatangan mereka kesini pagi ini adalah untuk membicarakan masalah
pernikahan kalian yang memang sudah seharusnya diselenggarakan setelah kamu dan
Gusti berumur delapan belas tahun. “
Sontak Shinta tercengang ! Amat
sangat kaget !
“ H-hah ??? Nikah ? Ayah kok nggak
pernah bilang ? “ ceplos Shinta.
“ Ya makanya sekarang ayah kasih
tau. Dan setelah sarapan nanti, kita akan bahas ini lebih jauh. Agar secepatnya
mendapat sebuah kesepakatan. “ ucap ayah menutup pembicaraan.
ώώώ
Setelah keluarga Prasetyoningrat itu
pergi, Shinta segera berlari kebelakang rumahnya. Melewati pendopo-pendopo yang
berdiri dikiri dan kanan jalan setapak yang menghubungkan bangunan utama-yaitu
rumahnya sendiri-dengan sebuah pagar dan tembok yang berdiri kokoh setinggi
lima meter. Dibalik tembok dan pagar itu berdiri lima rumah sederhana, tempat
para abdi dalem, atau yang bisa disebut pembantu, tinggal bersama keluarga mereka.
Dengan cepat Shinta membuka pagar
itu dan langsung menuju salah satu rumah di mini komplek itu. Digedornya pintu
rumah itu dengan cepat.
“ Rama … “ panggilnya.
Tidak ada sahutan. Dicobanya lagi.
Tetap tidak ada sahutan. Sampai yang ketiga kalinya, seseorang menegurnya dari
arah belakang.
“ Den Ayu sedang apa disini ? “
tanya orang itu.
Shinta menoleh, “ Panji ? “
“ Iya. Den Ayu sedang apa disini
sendirian ? “ tanya salah satu abdi dalem-yang bernama Panji-itu lagi.
“ Kamu liat Rama ndak ? “
“ Rama sedang memotong rumput
dihalaman sampimg, Den Ayu. Ada perlu apa ? Biar saya yang bantu. “ kata Panji.
Shinta berjalan mendekati Panji, “
hmm … aku mau kamu, Rama, dan Khrisna sekarang juga luangin waktu buat aku. Aku
mau cerita dan cuma kalian yang bisa buat aku tenang. “
“ Nyuwun sewu, Den Ayu (
mohon maaf ), bagaimana ya ? Kami … “
“ Ndak usah khawatir, “ potong
Shinta cepat, “ nanti aku yang bilang sama ayah kalau kalian sekarang ini harus
kerja untuk aku. Sekarang mendingan kamu cepet panggil Rama sama Khrisna. Aku
tunggu disini. “
“ Baik kalau begitu. Den Ayu tunggu
disini sebentar. “ ucap Panji lalu setelah mengangguk hormat sesaat dia segera
berlalu.
Beberapa saat kemudian Panji datang
bersama dua orang yang tadi disuruh Shinta, Rama dan Khrisna.
“ Kita ngomong dikamar kamu aja,
Ram. “ kata Shinta tegas.
Rama sedikit bingung plus ragu, “
kamar saya ? “
“ Iya. Kenapa ? “ tanya Shinta
cepat.
“ Maaf, Den Ayu. Bukannya saya ndak
mengijinkan, tapi … Den Ayu mana boleh masuk ke kamar pembantu seperti saya.
Nanti … “
“ Tapi aku maunya disana ! “ sela
gadis ningrat itu, “ aku mesti ngomong berapa kali sih sama kalian ? Terutama
sama kamu, Rama, “ dia berhenti sejenak, lalu kembali melanjutkan, “ aku kenal
kalian udah dari bayi ! Kita juga udah bersahabat belasan tahun ! Aku nggak
peduli orang mau bilang kalian abdi dalem atau apalah itu ! Yang aku tau cuma
satu ! Aku tulus sahabatan sama kalian. Nggak ada tuh istilah aku majikan
kalian pembantu ! Masa mesti diulang lagi sih ?! “
Ketiga cowok dihadapannya hanya bisa
diam sambil menundukkan kepala.
Shinta mendengus sebal, “ ya udah
kalo kalian nggak ngijinin ! Aku tinggal bilang sama ayah aku kalo kalian itu
nggak mau memenuhi keinginan aku ! “
Rama, Panji, dan Khrisna saling
tatap, kemudian serentak berbicara, “ jangan, Den. “
Shinta tersenyum senang, “ jadi ? “
“ Baik … lah kalau begitu. Tapi
mohon maaf Den Ayu, kamar saya berantakan. “ ucap Rama.
“ Aku nggak peduli. Ya udah sekarang
juga kita masuk. Ada yang mau aku ceritain. “ sahut Shinta.
ώώώ
“ Begitu ceritanya, “ Shinta menghela
nafas setelah selesai menceritakan kejadian tadi pagi kepada ketiga abdi
dalemnya.
“ Lalu yang bikin Den … “
“ Aduh Rama ! “ potong Shinta, “ ini
juga kamu lupa ? Aku kan udah sering bilang, kalo kita cuma berempat kayak
gini, aku nggak mau dipanggil ‘den ayu’ ! Dan kalian ngapain berdiri disitu ? Duduk
disini bareng sama aku kenapa sih ? “
“ Ndak sopan, Den Ayu. Terlalu
lancang kalau kami duduk bersama Den Ayu ditempat tidur. Apalagi kalau harus
memanggil Den Ayu dengan hanya nama. Bahaya, Den. “ jawab Khrisna.
Rama dan Panji mengangguk setuju.
Shinta geleng-geleng kepala lalu
menepuk dahinya sendiri, “ kadang tuh aku mikir, kenapa sih aku harus terlahir
dari keluarga ningrat ? Kenapa nggak kayak kalian aja ? Jadi nggak begini nih.
Berteman sama kalian aja susah banget. Padahal kan aku sama kalian tuh sama.
Sama-sama manusia. Cuma nasib aja yang beda ! “
“ Den Ayu ndak boleh bicara seperti
itu. Kami malah sebaliknya. Ingin sekali seperti Den Ayu. “ ucap Panji.
Shinta tersenyum geli, “ ya udahlah
lupain aja. Sekarang terserah kalian deh mau gimana. Yang penting kasih aku
saran dong aku mesti gimana ? “
“ Maaf Den Ayu, kami takut mau kasih
saran. Takut salah. “ kata Rama.
“ Aku percaya kalian. “ sahut Shinta
singkat dan mantap.
Tiga cowok dihadapannya saling tatap
sesaat. Lalu Rama kembali berbicara.
“ Memangnya Den Ayu ndak mau
dijodohkan dengan Raden Mas Gusti ? “
“ Nggak ! Wong aku masih mau sekolah kok. Masih mau nyari ilmu yang banyak.
Lagian umurku juga baru delapan belas tahun. Sama sekali nggak siap kalo harus
menikah. Dan yang paling penting itu, aku nggak cinta sama dia. “
“ Mungkin menurut Kanjeng Romo ini
adalah yang terbaik untuk masa depan Den Ayu. Makanya beliau memutuskan untuk
menikahkan Den Ayu dengan orang yang menurut Kanjeng Romo paling pantas untuk
Den Ayu. “ jelas Rama.
“ Betul, Den Ayu. Apa ndak dicoba
dulu ? Mungkin setelah kenal jauh dengan Raden Mas Gusti, Den Ayu jadi cinta. “
lanjut Panji.
“ Emoh aku (nggak mau aku). Aku ngeliat orangnya aja udah males.
Kayaknya galak. Masih mending kakaknya. Ada keramahan dari wajahnya. Dan untuk
masalah masa depanku, itu cuma aku yang boleh nentuin. Karna kan aku yang
jalanin. Bukan ayah. Jujur, aku tuh capek begini terus. Semua hal yang aku
jalanin, harus dengan campur tangan ayah. Aku kan juga punya sisi pribadi yang
nggak mau orang lain ikut campur. Nggak peduli orang lain itu orangtuaku
sendiri. “
“ Yo wis Den Ayu bilang saja seperti itu sama Kanjeng Romo. “
komentar Khrisna.
“ Ora wani (nggak berani) aku, Khris. “
Rama, Panji, dan Khrisna kontan
tertawa geli.
“ Wong ndak berani kenapa mau membantah ? Den Ayu ini ada-ada saja. “
ucap Rama.
Shinta cemberut, “ huh ! Coba aku
punya pacar ya ? Pasti nggak kayak gini nih. “
Ketiga abdi dalemnya kembali
tersenyum geli.
“ Ya sudah, lebih baik Den Ayu coba
pikirkan lagi. Baiknya gimana kan Den Ayu sudah bisa mengambil keputusan
sendiri. Yang penting itu adalah keputusan yang paling bijak. Yang ndak
merugikan siapa-siapa. Masalah cinta itu juga bisa tumbuh dengan sendirinya
kalau Den Ayu sudah mengenal lebih jauh siapa itu Raden Mas Gusti. “ nasihat
Rama.
Shinta mengangguk pelan, “ iya kali
ya ? Ya udahlah. Aku coba pikirin lagi. Makasih ya udah mau nemenin aku ? Nggak
tau deh gimana jadinya aku kalo nggak ada kalian. Maaf ya udah ganggu kerja
kalian ? “
“ Ndak apa-apa Den Ayu. Kita begini
juga kan kerja. “ sahut Panji.
“ Ya sudah aku balik dulu ya ?
Masalah kerjaan kalian yang tertunda gara-gara nemenin aku, nanti aku yang
bilang ke ayah. Sekali lagi makasih banyak ya ? “
“ Njeh Den Ayu. Jangan sungkan. “ kata Rama.
Shinta mengangguk sambil tersenyum.
Lalu kembali ke rumahnya. Ada perasaan lega setelah menceritakan semua
masalahnya kepada tiga abdi dalem itu.
Memang selalu begitu.
Cewek ningrat itu selalu berlari
pada Rama, Panji, dan Khrisna ketika dia sedang ada masalah. Selain ibunya, dia
juga selalu merasa nyaman dengan abdi dalem itu. Meski Shinta merasa begitu,
toh pada kenyataannya Rama, Panji, dan Khrisna selalu merasa segan dengan putri
semata wayangnya Kanjeng Suryodiningrat itu. Mereka merasa tidak pantas menjadi
teman Shinta apalagi tempat cewek itu berbagi.
Tapi setiap kali mereka begitu, maka
Shinta juga akan selalu marah. Gadis itu marah karena masalah perbedaan yang
sangat nyata antara dirinya dengan Rama, Panji, dan Khrisna.
ώώώ
Tidak ada komentar:
Posting Komentar